IBNU TAIMIYAH (661-728)
Nama lengkapnya adalah Taqi Al-din Ahmad bin Abd. Halim bin
Abd. Salam bin Taymiyah. Ia lahir di Harran 22 januari 1263 M / 10 Rabiul Awwal
661 H. ia juga dikenal sebagai seorang pembaharu dalam artian memurnkiakan
ajaran Islam agar tidak terccampur dengan hal-hal yang berbau bid’ah. Diantara
elemen gerakan reformasinya adalah; Pertama, melaukan reformasi melawan praktek yang tidak Islami. Kedua,
kembali kearah prioritas fundamental ajaran Islam dan
semangat keagamaan yang murni, sebaliknya memperdebatkan ajaran yang tidak
fundamental dan sekunder. Ketiga, berbuat untuk kebaikan dan keamanan publik serta menjaga mereka dari
sikap eksploitatif dan mementingkan diri sendiri.
B. Mekanisme Pasar
Ibnu Taimiyah memiliki pandangan tentang pasar bebas, dimana
suatu harga dipertimbangkan oleh kekuatan pertmintaan dan penawaran. Menurut
beliau terdapat indikasi kenaikan harga yang terjadi disebabkan oleh perbuatan
ketidakadilan atau zulm para
penjual. Perbuatan yang disebut manipulasi ini mendorong terjadinya
ketidaksempurnaan pasar. Tetapi pernyataan ini tidak bisa disamakan disegala
kondisi, karena bisa saja alasan naik dan turunnya harga disebabkan oleh
kekuatan pasar.
Dalam bukunya Maju’
Fatawa, Ibnu Taimiyah mengemukakan
beberapa faktor yang mempengaruhi fluktuasi permintaan dan konsekuensinya
terhadap harga:
1.
Kebutuhan manusia sangat beragam dan bervariasi satu sama lain.
Kebutuhan tersebut berbeda-beda tergantung pada kelimpahan atau kelangkaan barang-barang
yang dibutuhkan itu. Suatu barang akan lebih dibutuhkan pada saat terjadinya
kelangkaan ketimbang saat melimpahnya persediaan.
2.
Harga sebuah barang beragam tergantung pada tingginya jumlah
orang-orang yang melakukan permintaan. Jika jumlah manusia yang membutuhkan
sebuah barang banyak, maka hargapun akan bergerak naik terutama jika jumlah
barang hanya sedikit.
3.
Harga barang juga dipengaruhi oleh besar atau kecilnya kebutuhan
terhadap barang dan tingkat ukurannya. Jika kebutuhan sangat besar dan kuat,
maka hargapun akan melambung hingga tingkat yang paling maksimal, ketmbang jika
kebutuhan itu kecil dan lemah.
4.
Harga barang berfluktuasi juga tergantung pada siapa yang melakukan
transaksi pertukaran barang itu. Jika ia adalah seorang yang kaya dan terpercaya
dalam hal membayar hutang, harga yang murah niscaya akan diterimanya.
5.
Harga juga dipengaruhi oleh bentuk alat pembayaran yang digunakan dalam
jual beli, jika yang digunakan umum dipakai, harga akan lebih rendah ketimbang
jika membayar dengan uang yang jarang ada diperedaran.
6.
Disebabkan oleh tujuan dari kontrak adanya timbal balik kepemilikan
oleh kedua belah pihak yang melakukan transaksi. Jika sipembayar mampu
melakukan pembayaran dan mampu memenuhi janjinya, tujuan transaksi tersebut
mampu diwujudkan dengannya.
7.
Aplikasi yang sama berlaku bagi seseorang yang meminjam atau
menyewanya.
C. Mekanisme Harga
1. Konsep Harga Adil
Harga yang adil menurut Ibn Taimiyah adalah; “Nilai
harga dimana orang-orang menjual barangnya dan diterima secara umum sebagai hal
yang sepadan dengan barang yang dijual ataupun barang-barang yang sejenis
lainnya di tempat dan waktu yang tertentu”.
Konsep Ibnu Taimiyah
tentang kompensasi yang adil dan harga yang adil, memiliki dasar pengertian
yang berbeda. Permasalahan tentang kompensasi yang adil muncul ketika
membongkar masalah moral atau kewajiban hukum.
Dalam mendefinisikan
kompensasi yang setara, Ibnu Taimiyah berkata, “yang dimaksud
dengan kesetaraan adalah kuantitas dari objek khusus dalam pengunaan secara
umum (urf) dan berkaitan dengan nilai dasar (rate/si’r) serta kebiasaan. Beliau juga menambahkan “Evaluasi
yang benar terhadap kompensasi yang adil didasarkan atas analogi dan taksiran
dari barang tersebut dengan barang lain yang setara (equivalen). Inilah yang
benar-benar adil dan benar-benar diterima dalam penggunaannya”.
2. Regulasi Harga
Menurut Ibnu Taimiyah, hadits yang diriwayatkan dari Anas
bin Malik, RA., mengungkapkan betapa Nabi SAW tidak ingin ikut campur tangan
dalam masalah regulasi harga-harga barang. Akan tetapi, hal tersebut disebabkan
oleh kenaikan barang yang dipicu kondisi objektif pasar Madinah, bukan karena
kecurangan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat untuk mengejar keuntungan
belaka. Pada saat itu, pasar Madinah kekurangan supply atau karena menurunya produksi, dan hal itu terjadi bukan
karena ada pedagang yang sengaja menimbung barang dipasaran. Dengan demikian,
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kenaikan harga barang-barang pada masa Nabi SAW
dikarenakan bekerjanya mekanisme harga.
Ibnu Taimiyah membedakan dua pengaturan (regulasi) harga,
yaitu regulasi harga yang adil dan dibolehkan dan regulsi yang tidak adil
diantaranya pengaturan yang termasuk kezaliman. Jika pengaturan/penetapan harga
yang dilakukan pemerintah terdapat unsur kezaliman (ketidakadilan) terhadap
manusia dan bersifat memaksa tanpa hak untuk menjual barang yang disukainya
atau melarang mereka dari barang yang Allah telah bolehkan, maka haram
hukumnya. Namun, jika penetapan harga tersebut mengandung keadilan antar
manusia untuk bertransaksi jual beli dengan harga standar yang normal dan
melarang mereka dari hal-hal yang diharamkan Allah untuk mengambil tambahan
diatas harga normal, maka hal ini diperbolehkan.
D. Hak Milik
Menurut Ibnu Taimiyah, penggunaan hak milik itu dimungkinkan
sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Hak milik itu, bagi
Ibnu Taimiyah adalah sebuah kekuatan yang didasari atas syariah untuk
menggunakan sebuah objek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi dalam bentuk
dan jenisnya. Misalnya, sesekali kekuatan itu engkap sehingga pemilik benda itu
berhak menjualnya atau memberikannya kepada orang lain. Tetapi, sesekali
kekuatan itu tidak lengkap karena hak dari si pemilik itu terbatas.
1.
Hak Milik Individu
Tentang akuisisi hak milik secara individual, Ibnu Taimiyah
secara sederhana menjelaskan secara rinci untuk kepentingan yang dibenarkan
syari’at. Seperti mengamankan pemilikan suatu barang (tanah) yang terlantar
karena tak memiliki pemilik jelas agar bisa terbudidayakan, pewarisan,
penjualan dan sebagainya. Setiap individu memiliki hak untuk menikmati hak
miliknya, menggunakannya secara produktif, memindahkannya dan melindunginya
dari pemubaziran. Tetapi, haknya dibatasi oleh sejumlah limitasi. Ia tidak
boleh menggunakannya secara berlebihan untuk tujuan bermewah-mewahan. Dalam
transaksi, ia tidak boeh mengunakan cara-cara terlarang, seperti pemalsuan,
penipuan dalam timbangan. Sama halnya juga dengan eksploitasi orang-orang yang
membutuhkan. Menurut Ibnu Taimiyah, seseorang yang hanya bertujuan mengumpulkan
harta kekayaan ibaratnya seperti Qarun. Dan setiap individu tidak boleh
menggunakan hak miliknya yang bisa menimbulkan kerugian bagi tetangganya.
2.
Hak Milik Sosial atau Kolektif
Jika harta kekayaan yang dimiliki oleh dua orang lebih,
mereka bisa saja menggunakannya sesuai aturan yang mereka tetpakan bersama.
Tidak boleh ada pihak yang merasa dirugikan. Jika salah satu pasangan berusaha
mengembangkan harta tersebut guna kepentingan bersama maka pihak yang lainpun
harus memberikan kontribusinya dan bekerjasama untuk itu.
Salah satu alasan dari keharusan pemilikan kolektif terhadap
objek-objek alam itu adalah semua diberikan Allah secara gratis. Manusia tak
memiliki kesulitan apapun untuk menggunakannya. Alasan lain adalah demi
kepentingan umum. Jika ada perorangan secara individual menguasai dan
memiliknya secara pribadi, hal itu bisa mengakibatkan kesulitan dan kesusahan
bagi masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, air rumput dan sumber api hanyalah
sebuah pemisalan saja. Banyak objek lain yang mempunyai kesamaan karakteristik
dengannya, yang barangkali perlu disebutkan dalam susunan yang terkategorisasi.
3.
Hak Milik Negara
Negara membutuhkan hak milik untuk memperoleh pendapatan, sumber-sumber
penghasilan dan kekuasaan untuk melaksanakan kewajibannya, seperti untuk
menyelenggarakan pendidikan, regenerasi moral, memelihara keadilan, memelihara
hukum dan secara umum melindungi seluruh kepentingan material dan spiritual
penduduk. Menurut Ibnu Taimiyah, sumber utama dari pendapatan negara ialah
zakat dan harta barang rampasan perang (ghanimah).
E. Peranan Pemerintah Dalam Kebijakan Ekonomi
Ibnu Taimiyahb, seperti halnya pemikir Islam lainnya
menyatakan bahwa pemerintah merupakan institusi yang sangat dibutuhkan. Ia
memberi dua alasan dalam menetapkan negara dan kepemimpinan negara seperti apa
adanya. Penekanan dari pembahasannya lebih pada karakter religius dan tujuan
dari sebuah pemerintahan; “tujuan terbesar dari negara ialah
mengajak penduduknya melaksanakan kebaikan dan mencegah mereka berbuat
mungkar”.
1.
Menghilangkan Kemiskinan
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, seseorang harus hidup
sejahtera dan tidak tergantung pada orang lain, sehingga mereka mampu memenuhi
sejumlah kewajibannya dan keharusan agamanya. Menjadi kewajiban sebuah negara
untuk membantu penduduk mampu mencapai kondisi finansial yang lebih besar.
Dalam daftar pengeluaran publik dan negara, ia menulis; “merupakan
sebuah konsensus umum bahwa siapapun yang tak mampu memperoleh penghasilan yang
mencukupi harus dibantu dengan sejumlah uang, agar mampu memenuhi kebutuhannya
sendiri.
2.
Regulasi Harga
Menurut Ibnu Taimiyah, pemerintah memiliki otoritas penuh
untuk menetapkan harga, manakala didapati adanya ketidaksempurnaan pasar yang
mengganggu jalannya perekonomian negara. Seperti adanya penimbunan suatu
komoditi oleh oknum tertentu yang memperoleh keuntungan dari keadaan demikian.
Akan tetapi, jika naik/turunnya harga suatu komoditi disebabkan bukan oleh
oknum tertentu, melainkan berjalan secara alamiah dalam kondisi normal,
pemerintah sama sekali tidak memiliki ootritas pada kondisi ini.
Penetapan upah bururh sebagai bagian dari tanggung jawab
negara untuk memecahkan perselisihan antara majikan dan karyawan yang biasanya
secara umum terkaitdengan upah. Ibnu Taimiyah melihat tenaga kerja merupakan
jasa, yang ikut mempengaruhi harga pasar, karena itu menetapkan upah abnalog dengan
penetapan harga, yakni dalam pengertian menetapkan harga tenaga kerja (ta’sir
fil maal).
3.
Kebijakan Moneter
Kontrol atas harga dan upah buruh, keduanya ditujukan untuk
memelihara keadilan dan stabilitas pasar. Tetapi, kebijakan moneter bisa pula
mengancam tujuan itu. Negara bertanggung jawab untuk mengontrol ekspansi mata
uang dan untuk mengawasi penurunan mata uang, yang keduanya dapat mengakibatkan
ketidakstabilan ekonomi. Negara harus sejauh mungkin menghindari anggaran yang
defisit dan ekspansi mata uang uang tak terbatas, sebab akan mengakibatkan
timbulnya inflasi dan menciptakan ketidakpercayaan publik atas mata uang
bersangkutan.
Ibnu Taimiyah sangat jelas memegang pentingnya kebijakan
moneter bagi stabilitas ekonomi. Uang harus dinilai sebagai pengukur harga dan
alat pertukaran. Setiap penilaian yang merusak fungsi-fungsi uang akan
berakibat buruk bagi perekonomian negara.
4.
Perencanaan Ekonomi
Tak ada satu pemerintahan pun menolak kebutuhan pengembangan
ekonomi secara menyeluruh, sebagai salah satu cara yang efektif mencapainya
adalah melalui perencanaan ekonomi.
Salah satu pikiran penting adalah konsep Ibnu Taimiyah
terhadap industri pertanian, pemintalan dan sebagainya. Jika kegiatan secara
sukarela gagal untuk memenuhi persediaanbarang-barang yang dibutuhkan penduduk,
maka negara harus mengambil alih tugas tersebut untuk mengatur kebutuhan suplai
yang layak, yang hanya bisa dilaksanakan jika negara menambah perhatian
terhadap kegiatan ekonomi.
Aktivitas ekonomi dan pengembangan biaya sosial atau infrastruktur,
misalnya sistem transportasi dan komunikasi. Hal ini akan menambah biaya yang
tinggi, dan negara memiliki kewajiban menanggungnya. Dalam kitab Al-Fatawa
disebutkan bahwa sebuah pertimbangan untuk menjadikan
bagian dari pembiayaan publik diperlukan untuk membangun kanal, jembatan,
jalan, dan sebagainya. Disebutkan pula bahwa kekayaan yang tak mempunyai ahli
waris dan barang hilang yang tak jelas pemiliknya dapat dijadikan sumber
pendapatan negara yang bisa digunakan untuk membiayai utilitas umum (al-masalih
al’ammah).
Demi merealisasika tujuan yang akan dicapai dalam perencanaan ekonomi,
suatu negara membutuhkan dibentuknya institusi yang gunanya mengawasi lajunya
pertumbuhan ekonomi negara tersebut, yang dikenal dengan sebutan Institusi Hisbah.
Ibnu taimiyah mendefinisikkannya sebagai lembaga yang berfungsi untuk
memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah keburukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar