Rabu, 02 Juli 2014

Riwayat Ibnu Thaimiyah



IBNU TAIMIYAH (661-728)

Nama lengkapnya adalah Taqi Al-din Ahmad bin Abd. Halim bin Abd. Salam bin Taymiyah. Ia lahir di Harran 22 januari 1263 M / 10 Rabiul Awwal 661 H. ia juga dikenal sebagai seorang pembaharu dalam artian memurnkiakan ajaran Islam agar tidak terccampur dengan hal-hal yang berbau bid’ah. Diantara elemen gerakan reformasinya adalah; Pertama, melaukan reformasi melawan praktek yang tidak Islami. Kedua, kembali kearah prioritas fundamental ajaran Islam dan semangat keagamaan yang murni, sebaliknya memperdebatkan ajaran yang tidak fundamental dan sekunder. Ketiga, berbuat untuk kebaikan dan keamanan publik serta menjaga mereka dari sikap eksploitatif dan mementingkan diri sendiri.
B. Mekanisme Pasar
            Ibnu Taimiyah memiliki pandangan tentang pasar bebas, dimana suatu harga dipertimbangkan oleh kekuatan pertmintaan dan penawaran. Menurut beliau terdapat indikasi kenaikan harga yang terjadi disebabkan oleh perbuatan ketidakadilan atau zulm para penjual. Perbuatan yang disebut manipulasi ini mendorong terjadinya ketidaksempurnaan pasar. Tetapi pernyataan ini tidak bisa disamakan disegala kondisi, karena bisa saja alasan naik dan turunnya harga disebabkan oleh kekuatan pasar.
            Dalam bukunya Maju’ Fatawa, Ibnu Taimiyah mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi fluktuasi permintaan dan konsekuensinya terhadap harga:
1.      Kebutuhan manusia sangat beragam dan bervariasi satu sama lain. Kebutuhan tersebut berbeda-beda tergantung pada kelimpahan atau kelangkaan barang-barang yang dibutuhkan itu. Suatu barang akan lebih dibutuhkan pada saat terjadinya kelangkaan ketimbang saat melimpahnya persediaan.
2.      Harga sebuah barang beragam tergantung pada tingginya jumlah orang-orang yang melakukan permintaan. Jika jumlah manusia yang membutuhkan sebuah barang banyak, maka hargapun akan bergerak naik terutama jika jumlah barang hanya sedikit.
3.      Harga barang juga dipengaruhi oleh besar atau kecilnya kebutuhan terhadap barang dan tingkat ukurannya. Jika kebutuhan sangat besar dan kuat, maka hargapun akan melambung hingga tingkat yang paling maksimal, ketmbang jika kebutuhan itu kecil dan lemah.
4.      Harga barang berfluktuasi juga tergantung pada siapa yang melakukan transaksi pertukaran barang itu. Jika ia adalah seorang yang kaya dan terpercaya dalam hal membayar hutang, harga yang murah niscaya akan diterimanya.
5.      Harga juga dipengaruhi oleh bentuk alat pembayaran yang digunakan dalam jual beli, jika yang digunakan umum dipakai, harga akan lebih rendah ketimbang jika membayar dengan uang yang jarang ada diperedaran.
6.      Disebabkan oleh tujuan dari kontrak adanya timbal balik kepemilikan oleh kedua belah pihak yang melakukan transaksi. Jika sipembayar mampu melakukan pembayaran dan mampu memenuhi janjinya, tujuan transaksi tersebut mampu diwujudkan dengannya.
7.      Aplikasi yang sama berlaku bagi seseorang yang meminjam atau menyewanya.
C. Mekanisme Harga
1. Konsep Harga Adil
Harga yang adil menurut Ibn Taimiyah adalah; “Nilai harga dimana orang-orang menjual barangnya dan diterima secara umum sebagai hal yang sepadan dengan barang yang dijual ataupun barang-barang yang sejenis lainnya di tempat dan waktu yang tertentu”.
            Konsep Ibnu Taimiyah tentang kompensasi yang adil dan harga yang adil, memiliki dasar pengertian yang berbeda. Permasalahan tentang kompensasi yang adil muncul ketika membongkar masalah moral atau kewajiban hukum.
            Dalam mendefinisikan kompensasi yang setara, Ibnu Taimiyah berkata, “yang dimaksud dengan kesetaraan adalah kuantitas dari objek khusus dalam pengunaan secara umum (urf) dan berkaitan dengan nilai dasar (rate/si’r) serta kebiasaan. Beliau juga menambahkan “Evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang adil didasarkan atas analogi dan taksiran dari barang tersebut dengan barang lain yang setara (equivalen). Inilah yang benar-benar adil dan benar-benar diterima dalam penggunaannya”.

2. Regulasi Harga
Menurut Ibnu Taimiyah, hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, RA., mengungkapkan betapa Nabi SAW tidak ingin ikut campur tangan dalam masalah regulasi harga-harga barang. Akan tetapi, hal tersebut disebabkan oleh kenaikan barang yang dipicu kondisi objektif pasar Madinah, bukan karena kecurangan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat untuk mengejar keuntungan belaka. Pada saat itu, pasar Madinah kekurangan supply atau karena menurunya produksi, dan hal itu terjadi bukan karena ada pedagang yang sengaja menimbung barang dipasaran. Dengan demikian, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kenaikan harga barang-barang pada masa Nabi SAW dikarenakan bekerjanya mekanisme harga.
Ibnu Taimiyah membedakan dua pengaturan (regulasi) harga, yaitu regulasi harga yang adil dan dibolehkan dan regulsi yang tidak adil diantaranya pengaturan yang termasuk kezaliman. Jika pengaturan/penetapan harga yang dilakukan pemerintah terdapat unsur kezaliman (ketidakadilan) terhadap manusia dan bersifat memaksa tanpa hak untuk menjual barang yang disukainya atau melarang mereka dari barang yang Allah telah bolehkan, maka haram hukumnya. Namun, jika penetapan harga tersebut mengandung keadilan antar manusia untuk bertransaksi jual beli dengan harga standar yang normal dan melarang mereka dari hal-hal yang diharamkan Allah untuk mengambil tambahan diatas harga normal, maka hal ini diperbolehkan.

D. Hak Milik
            Menurut Ibnu Taimiyah, penggunaan hak milik itu dimungkinkan sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Hak milik itu, bagi Ibnu Taimiyah adalah sebuah kekuatan yang didasari atas syariah untuk menggunakan sebuah objek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi dalam bentuk dan jenisnya. Misalnya, sesekali kekuatan itu engkap sehingga pemilik benda itu berhak menjualnya atau memberikannya kepada orang lain. Tetapi, sesekali kekuatan itu tidak lengkap karena hak dari si pemilik itu terbatas.
1.      Hak Milik Individu
Tentang akuisisi hak milik secara individual, Ibnu Taimiyah secara sederhana menjelaskan secara rinci untuk kepentingan yang dibenarkan syari’at. Seperti mengamankan pemilikan suatu barang (tanah) yang terlantar karena tak memiliki pemilik jelas agar bisa terbudidayakan, pewarisan, penjualan dan sebagainya. Setiap individu memiliki hak untuk menikmati hak miliknya, menggunakannya secara produktif, memindahkannya dan melindunginya dari pemubaziran. Tetapi, haknya dibatasi oleh sejumlah limitasi. Ia tidak boleh menggunakannya secara berlebihan untuk tujuan bermewah-mewahan. Dalam transaksi, ia tidak boeh mengunakan cara-cara terlarang, seperti pemalsuan, penipuan dalam timbangan. Sama halnya juga dengan eksploitasi orang-orang yang membutuhkan. Menurut Ibnu Taimiyah, seseorang yang hanya bertujuan mengumpulkan harta kekayaan ibaratnya seperti Qarun. Dan setiap individu tidak boleh menggunakan hak miliknya yang bisa menimbulkan kerugian bagi tetangganya.
2.      Hak Milik Sosial atau Kolektif
Jika harta kekayaan yang dimiliki oleh dua orang lebih, mereka bisa saja menggunakannya sesuai aturan yang mereka tetpakan bersama. Tidak boleh ada pihak yang merasa dirugikan. Jika salah satu pasangan berusaha mengembangkan harta tersebut guna kepentingan bersama maka pihak yang lainpun harus memberikan kontribusinya dan bekerjasama untuk itu.
Salah satu alasan dari keharusan pemilikan kolektif terhadap objek-objek alam itu adalah semua diberikan Allah secara gratis. Manusia tak memiliki kesulitan apapun untuk menggunakannya. Alasan lain adalah demi kepentingan umum. Jika ada perorangan secara individual menguasai dan memiliknya secara pribadi, hal itu bisa mengakibatkan kesulitan dan kesusahan bagi masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, air rumput dan sumber api hanyalah sebuah pemisalan saja. Banyak objek lain yang mempunyai kesamaan karakteristik dengannya, yang barangkali perlu disebutkan dalam susunan yang terkategorisasi.
3.      Hak Milik Negara
Negara membutuhkan hak milik untuk memperoleh pendapatan, sumber-sumber penghasilan dan kekuasaan untuk melaksanakan kewajibannya, seperti untuk menyelenggarakan pendidikan, regenerasi moral, memelihara keadilan, memelihara hukum dan secara umum melindungi seluruh kepentingan material dan spiritual penduduk. Menurut Ibnu Taimiyah, sumber utama dari pendapatan negara ialah zakat dan harta barang rampasan perang (ghanimah).

E. Peranan Pemerintah Dalam Kebijakan Ekonomi
            Ibnu Taimiyahb, seperti halnya pemikir Islam lainnya menyatakan bahwa pemerintah merupakan institusi yang sangat dibutuhkan. Ia memberi dua alasan dalam menetapkan negara dan kepemimpinan negara seperti apa adanya. Penekanan dari pembahasannya lebih pada karakter religius dan tujuan dari sebuah pemerintahan; “tujuan terbesar dari negara ialah mengajak penduduknya melaksanakan kebaikan dan mencegah mereka berbuat mungkar”.
1.      Menghilangkan Kemiskinan
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, seseorang harus hidup sejahtera dan tidak tergantung pada orang lain, sehingga mereka mampu memenuhi sejumlah kewajibannya dan keharusan agamanya. Menjadi kewajiban sebuah negara untuk membantu penduduk mampu mencapai kondisi finansial yang lebih besar. Dalam daftar pengeluaran publik dan negara, ia menulis; “merupakan sebuah konsensus umum bahwa siapapun yang tak mampu memperoleh penghasilan yang mencukupi harus dibantu dengan sejumlah uang, agar mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.
2.      Regulasi Harga
Menurut Ibnu Taimiyah, pemerintah memiliki otoritas penuh untuk menetapkan harga, manakala didapati adanya ketidaksempurnaan pasar yang mengganggu jalannya perekonomian negara. Seperti adanya penimbunan suatu komoditi oleh oknum tertentu yang memperoleh keuntungan dari keadaan demikian. Akan tetapi, jika naik/turunnya harga suatu komoditi disebabkan bukan oleh oknum tertentu, melainkan berjalan secara alamiah dalam kondisi normal, pemerintah sama sekali tidak memiliki ootritas pada kondisi ini.
Penetapan upah bururh sebagai bagian dari tanggung jawab negara untuk memecahkan perselisihan antara majikan dan karyawan yang biasanya secara umum terkaitdengan upah. Ibnu Taimiyah melihat tenaga kerja merupakan jasa, yang ikut mempengaruhi harga pasar, karena itu menetapkan upah abnalog dengan penetapan harga, yakni dalam pengertian menetapkan harga tenaga kerja (ta’sir fil maal).
3.      Kebijakan Moneter
Kontrol atas harga dan upah buruh, keduanya ditujukan untuk memelihara keadilan dan stabilitas pasar. Tetapi, kebijakan moneter bisa pula mengancam tujuan itu. Negara bertanggung jawab untuk mengontrol ekspansi mata uang dan untuk mengawasi penurunan mata uang, yang keduanya dapat mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi. Negara harus sejauh mungkin menghindari anggaran yang defisit dan ekspansi mata uang uang tak terbatas, sebab akan mengakibatkan timbulnya inflasi dan menciptakan ketidakpercayaan publik atas mata uang bersangkutan.
Ibnu Taimiyah sangat jelas memegang pentingnya kebijakan moneter bagi stabilitas ekonomi. Uang harus dinilai sebagai pengukur harga dan alat pertukaran. Setiap penilaian yang merusak fungsi-fungsi uang akan berakibat buruk bagi perekonomian negara.
4.      Perencanaan Ekonomi
Tak ada satu pemerintahan pun menolak kebutuhan pengembangan ekonomi secara menyeluruh, sebagai salah satu cara yang efektif mencapainya adalah melalui perencanaan ekonomi.
Salah satu pikiran penting adalah konsep Ibnu Taimiyah terhadap industri pertanian, pemintalan dan sebagainya. Jika kegiatan secara sukarela gagal untuk memenuhi persediaanbarang-barang yang dibutuhkan penduduk, maka negara harus mengambil alih tugas tersebut untuk mengatur kebutuhan suplai yang layak, yang hanya bisa dilaksanakan jika negara menambah perhatian terhadap kegiatan ekonomi.
Aktivitas ekonomi dan pengembangan biaya sosial atau infrastruktur, misalnya sistem transportasi dan komunikasi. Hal ini akan menambah biaya yang tinggi, dan negara memiliki kewajiban menanggungnya. Dalam kitab Al-Fatawa disebutkan bahwa sebuah pertimbangan untuk menjadikan bagian dari pembiayaan publik diperlukan untuk membangun kanal, jembatan, jalan, dan sebagainya. Disebutkan pula bahwa kekayaan yang tak mempunyai ahli waris dan barang hilang yang tak jelas pemiliknya dapat dijadikan sumber pendapatan negara yang bisa digunakan untuk membiayai utilitas umum (al-masalih al’ammah).
Demi merealisasika tujuan yang akan dicapai dalam perencanaan ekonomi, suatu negara membutuhkan dibentuknya institusi yang gunanya mengawasi lajunya pertumbuhan ekonomi negara tersebut, yang dikenal dengan sebutan Institusi Hisbah. Ibnu taimiyah mendefinisikkannya sebagai lembaga yang berfungsi untuk memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah keburukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar